Welcome To My Blog :)

Sabtu, 06 Juli 2013

Pengelolaan Limbah Nuklir


Kegiatan nuklir di Indonesia sudah dimulai sejak 1965 melalui pengoperasian reactor training research and isotope production by general atomic (Triga) di Pusat Penelitian Teknik Nuklir (PPTN) Bandung. Yang menjadi permasalahan adalah limbah nuklir dari kegiatan tersebut. Masalah tersebut dapat diminimalisasi bila pengelolaan limbah nuklir dilakukan secara benar. Pengelolaan limbah nuklir dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup.

Dalam U.U. No. 10/1997 pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan Pelaksana dalam hal ini adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).

Pengolahan limbah nuklir bergantung pada besar kecilnya volume limbah, tinggi rendahnya aktivitas zat radioaktif yang terkandung dalam limbah serta sifat-sifat fisika dan kimia limbah tersebut. Penanganan limbah radioaktif aktivitas rendah, sedang maupun aktivitas tinggi pada umumnya mengikuti tiga prinsip, yaitu :
·   Memperkecil volumenya dengan cara evaporasi, insenerasi, kompaksi/ditekan.
·   Mengolah menjadi bentuk stabil (baik fisik maupun kimia) untuk memudahkan dalam transportasi dan penyimpanan.
·   Menyimpan limbah yang telah diolah, di tempat yang terisolasi

Pengolahan limbah cair dengan cara evaporasi/pemanasan menggunakan evaporator untuk memperkecil volume, kemudian dipadatkan dengan semen (sementasi) atau dengan gelas masif (vitrifikasi) di dalam wadah yang kedap air, tahan banting, misalnya terbuat dari beton bertulang atau dari baja tahan karat. (Sofyan, 1998).

Pengolahan limbah padat dengan cara diperkecil volumenya melalui proses insenerasi/pembakaran, selanjutnya abunya disementasi. Sedangkan limbah yang tidak dapat dibakar diperkecil volumenya dengan kompaksi/penekanan dan dipadatkan dalam drum/beton dengan semen. Sedangkan limbah yang tidak dapat dibakar/dikompaksi, harus dipotong-potong dan dimasukkan dalam beton kemudian dipadatkan dengan semen atau gelas massif.  Proses pemadatan bisa dilakukan dengan semen (sementasi), aspal (bitumentasi), polimer (polimerisasi) maupun bahan gelas (vitrifikasi) (Sofyan,1998)

Selanjutnya limbah radioaktif yang telah diolah disimpan secara sementara (10-50 tahun) di gudang penyimpanan limbah yang kedap air sebelum disimpan secara lestari. Tempat penyimpanan limbah lestari dipilih ditempat/lokasi khusus dengan kondisi geologi yang stabil dan secara ekonomi tidak bermanfaat.

Limbah radioaktif dihasilkan dalam fase gas, cair dan padatan melalui proses industri termasuk listrik yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga nuklir. International Atomic Energy Agency (IAEA) mengeluarkan 9 prinsip pengelolaan limbah radioaktif, yaitu:
1.    Limbah radioaktif harus dikelola dengan tingkat keamanan yang dapat melindungi kesehatan manusia dan lingkungan
2.    Limbah radioaktif harus dikelola dalam hal memberikan level yang dapat diterima guna perlindungan lingkungan
3.    Limbah radioaktif harus dikelola untuk menjamin bahwa efek yang mungkin terjadi pada kesehatan manusia diluar batas standar nasional, turut diperhitungkan
4.    Limbah radioaktif harus dikelola dalam memberikan prediksi bahwa dampak terhadap kesehatan generasi masa depan tidak lebih besar dari yang sekarang di terima
5.    Limbah radioaktif hars dikelola dengan cara tertentu yang tidak memberikan pengaruh atau akibat fatal pada generasi berikutnya
6.    Limbah radioaktif harus dikelola dengan tujuan yang sesuai frame work nasinal termasuk pembagian tanggung jawab dan provisi untuk fungsi kelembagaan independen.
7.    Limbah radioaktif yang dihasilkan harus minimum practicable.
8.    Keterkaitan antara seluruh tahapan dalam menghasilkan limbah radioaktif serta pengelolaannya harus dapat diukur atau diperhitungkan.
9.    Keamanan fasilitas yang digunakan dalam pengelolaan limbah radioaktif harus dipastikan selama masa lifetime (Cooper, 2003)

Akan tetapi pelaksanaan 9 prinsip pengelolaan limbah radioaktif tersebut tidak lepas dari aturan perundangan yang berlaku di Indonesia sehingga butuh adaptasi sebelum adanya aplikasi.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar